Saturday, March 27, 2010

Dosa Politik Gubernur Fauzi Bowo



JAKARTA-Menjelang dua tahun kepemimpinan Fauzi Bowo yang berakhir pada tahun 2012, warga Jakarta masih terkena dampak sistemik problem sosial, budaya, ekonomi, dan politik akibat dari penerapan kebijakan "tebang liar" Gubernur. Problem-problem tersebut muncul akibat kesalahan Gubernur yang selama ini berposisi pada kelas penguasa ketimbang sebagai pelayan masyarakat, akibatnya semua kebijakan yang dikeluarkan didasari atas kepentingan penguasa atau segelintir orang.

Pasangan Fauzi Bowo-Prijanto yang unggul dalam Pilkada langsung pertama di Jakarta dengan 57,87 persen suara, terpaksa mengeluarkan dana mencapai Rp 200 Miliar untuk setiap partai besar dalam mencari dukungan menjadi penguasa Jakarta. Artinya dalam lima tahun kepemimpinannya, Fauzi Bowo akan memfokuskan kepada pengembalian dana tersebut yang bisa didapat dari APBD ataupun proyek-proyek berskala besar yang saat ini sedang dijalankan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta.

Terlepas akan hal tersebut, marilah sejenak kita melihat apa saja yang telah dilakukan Gubernur terkait mengatasi permasalahan kemiskinan Ibu Kota. Setidaknya ini bisa dijadikan acuan pembelajaran politik warga Jakarta agar tidak lagi mengulangi kesalahan dalam memilih calon pemimpin kedepannya.

Lahirnya Perda Diskriminatif
Dalam masa kepimpinan Foke (nama panggilan Fauzi Bowo) setidaknya berhasil mengeluarkan beberapa peraturan daerah (Perda) yang penuh kontroversial, salah satunya Perda No 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Lahirnya Perda tersebut didasari atas desakan pemodal asing yang menginginkan Jakarta bersih dari kepungan orang-orang miskin. Dengan berlindung dalam tameng hukum yang dibuat, Foke bisa dengan seenaknya menggusur ataupun merazia setiap orang miskin yang melintas di Ibu Kota tanpa terkena sanksi atas perbuatannya yang melanggar PANCASILA, khususnya sila ke-lima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Kemiskinan menjadi problem tersendiri bagi Foke yang tidak pernah bisa diselesaikan kecuali dengan cara-cara tidak manusiawi. Kemiskinan dianggap oleh Foke sebagai sampah dan penyakit yang harus dibuang jauh-jauh dari Jakarta sebagai kota megapolitan dan miniatur pembangunan Indonesia. Pada bulan Juni 2009, setidaknya telah terjadi penggusuran di kawasan Tegal Alur, Bojong Kavling, Tanah Tinggi dan Tanjung Priuk yang mengakibatkan 2,268 jiwa kehilangan tempat tinggal dan perekonomian akibat diberlakukannya Perda tersebut. Dan pada bulan Maret 2010, sebanyak 3,000 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di kawasan Guji Baru (Jakarta Barat) terancam kehilangan rumahnya. Diberlakukannya Perda ini juga bisa dapat diartikan sebagai bentuk pelarian dari Foke atas problem kemiskinan itu sendiri.

Meskipun ada desakan dari masyarakat luas dan KOMNAS HAM untuk segera mencabut Perda tersebut, Foke tetap tidak menggubris dan meyakinkan para pemodal asing untuk tenang dan mengikuti filosofinya "Serahkan Pada Ahlinya".

Lahirnya Unit Kesatuan Pembunuh

Demi melangsungkan idenya agar tetap berjalan, Foke kemudian membangun unit pasukan pembunuh yang dinamakan Satpol PP yang berfungsi untuk mengamankan dan menjalankan agenda-agenda kepentingan daerah. Dalam menjalankan tugasnya, unit pasukan ini dilengkapi dengan 300 senjata api peluru karet. Sebanyak 20.000 personil direkrut dari pemuda-pemuda miskin dan diolah menjadi mesin pembunuh berdarah dingin untuk menggusur serta merazia para tetangganya/saudara/i/dan orang tuanya yang mengadu nasib di Jakarta.

Berdasarkan temuan SEKNAS FITRA, tahun 2010 Pemda DKI telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 47,6 Miliar untuk menggusur rakyat kecil melalui satuan ini. Pemda DKI juga merubah bahasa penggusuran dengan bahasa-bahasa yang berbeda, misalnya penertiban, pengawasan, pengendalian, penjagaan, pemantauan dan operasi yustisi. Dibandingkan dengan tahun 2009, alokasi anggaran penggusuran meningkat tajam sebesar 55 persen.

Peningkatan alokasi anggaran kepada satuan tersebut juga telah membuat mereka semakin beringas dan tidak beradab dalam setiap kali melakukan pekerjaanya. Setidaknya pada bulan Maret 2010 sudah 3 (tiga) anak jalanan yang menjadi korban kekejaman Satpol PP ; Cristian Adi (18 tahun, pak ogah, tenggelam di Kali Moevart Daan Mogot pada 3 Maret 2010), Faisal (17 tahun, pengamen, tertabrak truk muatan pasir di Cempaka Putih pada 1 Maret 2010) dan Ari (17 tahun, pengamen, hilang tenggelam di Banjir Kanal Timur pada 9 Maret 2010).

Timpangnya Anggaran Kesejahteran Rakyat dan Pejabat

Mungkin tidak banyak orang yang mengetahui dalam APBD DKI 2010 mengalokasikan anggaran jamuan makan hingga Rp 25 Miliar lebih, sebuah nilai yang terlampau fantastis untuk ukuran Jakarta yang masih berkutat pada persoalan kemiskinan ekstrem. Kata ekstrim mengacu pada pengertian berlebih atau sangat parah. Artinya, sebuah tingkat kemiskinan yang sudah sangat parah dan kronis, atau biasa disebut kemiskinan absolute struktural, yaitu tidak terpenuhinya kebutuhan standar hidup minimum sebuah komunitas masyarakat. Pengertian kemiskinan mengacu kepada kondisi ketiadaan sarana atau material untuk memenuhi kebutuhan dasar sebagai manusia, seperti makanan yang bernutrisi, pakaian, tempat bernaung (rumah), perawatan kesehatan, dan pendidikan.

Di Jakarta, tingkat kemiskinan ekstrem sebetulnya sudah cukup tinggi dan mengkhawatirkan. Meskipun tidak terdokumentasi dari data resmi, namun sebenarnya bisa dilihat dengan kasat mata, seperti banyaknya tuna wisma, pengemis, gelandangan, pengamen, dsb. Maraknya kemiskinan malah dijadikan Pemda DKI untuk melegitimasi problem tersebut dengan cara menggusur, membuat perda-perda diskriminatif, dan mengalokasikan anggaran untuk kepentingan para pejabat ketimbang rakyat miskin.

Sementara pada cost-cost peningkatan kesejahteraan rakyat malah mengalami penurunan dibanding mencapai 1,5 persen ketimbang pada tahun lalu. Anggaran pendidikan pada tahun ini hanya dialokasikan Rp 5,46 Triliun (22,86 persen) dan urusan kesehatan Pemprov hanya mengalokasikan anggaran sebesar Rp 1,9 Triliun (8,16 persen) dari APBD. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 413 Miliar dialokasikan untuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin atau setara dengan Rp 1,278,570/orang miskin di Jakarta yang mencapai 323,17 ribu (BPS). Bandingkan dengan biaya makan Gubernur yang mencapai Rp 13 juta per hari atau setara dengan Rp 4,9 Miliar per tahun.

Untuk itu, mari bersama-sama turun ke jalan dan meneriakkan Foke Harus Bertanggung Jawab Dengan Cara Jalan Mundur atau TURUN !!!

*) Penulis adalah anggota Dept Kajian, Informasi, dan Komunikasi DPW SRMI DKI Jakarta dan Tenaga Pengajar Sanggar Belajar Kolong Tol Penjaringan (Jakarta Utara).

0 komentar:

Post a Comment

Komentar Pengunjung

ARSIP

PROFILE TOKOH

PUISI & SASTRA

OPINI

  • Kaca Benggala: Sumpah Palapa - Oleh: Agus Jabo Priyono*) Ibarat pepatah, sebagai sebuah bangsa kita sedang berlayar dengan perahu besar, melawan gelombang liar. Dikurung langit yang tla...
    14 years ago