Monday, October 5, 2009

Kasus TRANS HTI lain dicucuk lain yang Benanah

Politiksaman.com-Musi Rawas, (4/9) tuntutan warga 6 desa HTI kec. Muara Lakitan tentang Batas Wilayah desa mereka makin menemui jalan buntu, meski pada setiap pertemuan pihak Pemkab Musi Rawas memberikan kabar tentang adanya kemungkinan tuntutan ini akan dipenuhi.

Sekedar menggingat kasus batas desa ini merupakan buntut dari perseteruan warga dengan PT. MHP yang melakukan klaim atas tanah garapan warga di tran HTI. Dari perseteruan ini akhirnya melahirkan perlawanan warga dengan mempertanyakan tentang HGU PT. MHP dan batas wilayah desa mereka yang selama 16 tahun tidak mereka ketahui. Padahal mereka diakui pemerintah daerah sebagai desa definitive yang tentunya sesuai dengan undang-undang memiliki wilayah hokum desa sebagai dasar pemerintahan desa dan wilayah hokum. Menurut prayitno “ bagaimana kami mau aman dalam melangsungkan hidup pak, kalau kami tidak memiliki lahan garapan untuk bertani. Lihat batang-batang akasia itu tumbuh hingga dibelakang kamar mandi kami. Dan itu diklaim perusahaan sebagai lahan mereka, artinya jika pohon itu tumbuh dikamar kami atau ditengah rumah la rumah kami juga milik perusahaan dong, lalu kami dtinggal dimana ? “ keluh salah satu warga SP 6 ini.

Awal berdirinya trans HTI ini menurut tetua adapt didaerah ini, bahwa mereka sebenarnya merupakan warga trans local yang dikaryakan oleh pemerintahan daerah melalui SK menteri pada tahun 1993. dalam point-point SK tersebuat berisikan beberapa point kewajiban PT. MHP (Barito) tentang hak mereka yang ikut dalam transmigrasi ini. Selain mereka berhak memiliki rumah semi permanent yang sesuai dengan standarisasi kesehatan dengan luas bangunan 0,25 Hektar mereka juga berhak memiliki lahan pungut seluas 1 Hektar. Dan mereka dikaryakan (dipekerjakan) diperusahan perkebunan ini.

Namun realita yang terjadi pengingkaran kewajiban oleh perusahaan perkebunan ini, selain perumahan tidak dibangun sesuai dengan kesepakatan awal, mereka juga tidak dikaryakan oleh perusahaan. Bahkan fasilitas trans ini pun tidak mendapatkan perhatian yang semestinya oleh perusahaan. Seperti jalan, fasilitas air bersih dan fasilitas umun lainnya yang merupakan kewajiban perusahaan untuk mendapatkan HGU seluas 70.000 Hektar tersebut di Kab. Musi Rawas.

Bahkan pada perkembanganya setelah trans HTI ini menjadi desa defenitif PT. MHP sebagai pemegang HGU pun makin melakukan ekplorasi hutan gila-gilaan dengan juga melakukan pengarapan hutan korsevasi yang luasnya ribuan hektar. Hal ini memicu kecemburuan warga, dimana mereka yang merasa terhimpit secara ekonomi akibat program transmigrasi yang tidak berjalan sebagaimana baiknya. Namun mereka juga harus bertahan hidup dengan mengolah lahan-lahan ilalang untuk bercocok tanam yang kemudian diklaim PT. MHP milik mereka.

Staff ahli Kab. Musi Rawas Ahmad Murtin, SH menyatakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai mediasi permasalahan ini belum dapat dikatakan maksimal. Kenapa dibilang begitu, yang dipermasalahkan warga adalah batas wilayah hokum desa mereka, kok dijawab Bupati dan sekda dengan HTR (hutan Tanaman Rakyat). Tentunya keduanya bertolak belakang, batas wilayah yang dituntut warga dengan melakukan aksi-aksi besaran beberapa waktu lalu adalah normative. Dan itu esensial untuk wilayah dan kebutuhan mereka. Jika mereka tidak memiliki batas wilayah tentunya tidak akan bisa mengatur rumah tangga pemerintahanya sendiri. Dan otomatis akan ada tumpang tindih wilayah hokum dan akhirnya mereka akan konflik horizontal akibat ketidak jelasan wilayah hokum. Sedangkan HTR merupakan progrsm serapan dan itu adalah kewajiban pemerintahan daerah untuk memberikan solusi bagi permasalahan ekonomi dipedesaan saat ini yang semakin pelik. Saran saya hendaknya tim dan mediasi dalam penyelesaian masalah ini baik pemkab maupun lembaga pendamping dalam hal ini FPR (front Perlawanan rakyat) kembali duduk satu meja. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut dengan alas an menunggu ajuan ke Kementeri kehutanan dan sebagainya tentu memberikan peluang kejadian yang merugikan kita. Logikanya masak pemerintahan daerah lebih sayang sama pemodal yang jumlahnya segelintir daripada anak sendiri yang selama ini juga memegang KTP Kab. Musi Rawas, “ ujarnya lantang.

Perkembangan terakhir kadis Kehutanan Kab. Musi Rawas mengatakan dimedia-media local bahwa kasus HTI ini menunggu persetujuan menteri Kehutanan untuk mendapatkan HTR. Dan tentunya berbeda dengan maksud tuntutan warga HTI yang meminta batas wilayah desa. Aktivis FPR Edo Saman mengatakan “ kita ucapakan terima kasih atas niat baik Pemkab. Musi Rawas yang akan memberikan HTR dengan luas 3 Hektar setiap KK, namun perlu diingat dan kami ulangi bahwa tuntutan warga adalah batas wilayah. Karena kehidupan dan privasi mereka terganggu akibat klaim perusahan dengan pohon-pohon akasia yang sudah masuk halaman rumah mereka. Seinggat saya dalam SK menteri Kehutanan pada kasus trans HTI ini, batas wilayah desa adalah 5 kilo dari pemukiman warga. Nak sekarang halaman rumah bahkan dapur pun sudah diklaim perusahaan. Lalu apa artinya desa definitive jika tidak ada wilayah hokum dan jangan-jangan ini akal-akalan oknum pemkab. Musi Rawas dan PT. MHP yang membuat desa Boneka hanya untuk memperlancar kepentingan jaringan korupsi mereka diwilayah ini. Lihat data yang kami Inventarisir melalui Sayap FPR. Forum Rakyat Menggugat (FRM) yang terdiri dari 700 kk ini menginventarisir bahwa PT. MHP pun melakukan pelanggaran dengan mengelola hutan konservasi dan indikasi adanya beberapa oknum petinggi perusahaan yang melakukan pengolahan hutan konservasi untuk kepentingan pribadi dengan menyuruh warga setempat menggelolahnya untuk sembunyi dari permasalahan hokum dan bahkan ada beberapa oknum pemerintahan daerah yang juga terindikasi memiliki lahan disini. “ papar edo.

Lalu apa bedanya warga dengan petinggi atau perusahaan tentang pengolahan hutan konservasi. Kenapa warga tidak boleh pak, tapi perusahaan semaunya saja. Klo masalah pajak kami juga sanggup berepa PT MHP membayar pajak kepada Negara, kami juga sanggup asal 70.000 hektar lahan itu kembalikan pengolaannya pada kami. Jika ini berlarut tentunya semakin meyakinkan kami bahwa Bapak Bupati pilih kasih dan lebi senang dengan perusahaan yang kami anggap samo cak Belando pak. Diinjok dikit laju nak nguase he tu “. Tambah yogi dengan semangat, salah satu warga HTI.

Edo.

0 komentar:

Post a Comment

Komentar Pengunjung

ARSIP

PROFILE TOKOH

PUISI & SASTRA

OPINI

  • Kaca Benggala: Sumpah Palapa - Oleh: Agus Jabo Priyono*) Ibarat pepatah, sebagai sebuah bangsa kita sedang berlayar dengan perahu besar, melawan gelombang liar. Dikurung langit yang tla...
    15 years ago