Sunday, September 13, 2009

Perusahaan Perkebunan di Kab.Musi Rawas, tidak Mendukung Pembangunan ?

Perusahaan Perkebunan di Kab.Musi Rawas, tidak Mendukung Pembangunan ?

Musi Rawas-politiksaman.com, geliat pembangunan Kab. Musi Rawas dengan Grand isu Agropolitan Center (AG) yang dicanangkan oleh Bupati Musi Rawas telah memberikan nuansa baru bagi kabupaten ini, dengan APBD 1,2 T pada tahun 2009 membuktikan bahwa begitu banyak pembangunan yang dilakukan dikabupaten ini, terlepas adanya kontroversi monopoli proyek oleh orang dekat Bupati, namun esensi pembangunannya dapat dikatakan berhasil. Penembusan jalan ke segala distrik hingga jalan-jalan pelosok telah banyak yang ditingkatkan baik hotmik maupun pengoralan.

Disisi lain pembangunan yang digalakan Kab. Musi Rawas ini menurut pandangan masyarakat banyak tidak mendapatkan dukungan dari perusahaan perkebunan, yang nota bene-nya merupakan penghuni hutan Musi Rawas dengan HGU yang besar, serta menyumbangkan salah satu factor utama perusak jalan umum di Kab. Musi Rawas, seperti jalan simpang semambang hingga cecar kec. BTS Ulu jalan tersebut yang sering digunakan oleh dump truck dan mobil pengangkut sawit, minyak dan kayu akasia ini semakin sempit karena lobang dimana-mana.

Pernyataan Bupati Musi Rawas dimedia beberapa bulan lalu dan peringatan keras dimedia-media massa atas tindak tanduk perusahaan perkebunan ini terkesan tidak didengar oleh pihak perusahaan, hal ini menunjukkan ketidak pedulian mereka terhadap pembangunan di Kab. Musi Rawas, menurut devisi Lingkungan dan Sekjen FPR (Front Perlawanan Rakyat) Anton Sulistio,SE “perusahaan perkebunan banyak melanggar izin prinsip AMDAL yang mereka dapatkan, dan program CD banyak tidak dilaksanakan oleh perusahaan tersebut, hal terakhir yang ditemukan oleh FPR adalah PT. MHP (Musi Hutan Persada ) didaerah HTI SP 5 dan SP 6, program ini tidak berjalan sama sekali. Padahal dibelakang rumah rakyat sudah terlihat perkebunan akasia milik PT MHP, sesuai aturan mestinya desa Ring 1 ini berhak mendapatkan program CD. Belum lagi penyerobotan tanah warga serta pengelolahan hutan konservasi ribuan hektar yang digarap oleh PT. MHP diperbatasan SP 6 dan SP 10. yang aneh lagi selama 16 tahun 6 desa di HTI kec. Muara Lakitan ini tidak memiliki batas wilayah karena ada indikasi konspirasi perusahaan dengan oknum pemerintahan untuk menguasai lahan, bagaimana mungkin sebuah desa tanpa wilayah hokum selama 16 tahun “ ujarnya pria beranak satu yang mendapatkan sertifikasi pendidikan Amdal dan Lingkungan di Unsri beberapa tahun lalu.

Tentu hal seperti ini akan menghambat program yang dicanangkan oleh Bapak Ridwan Mukti selaku Bupati Musi Rawas, selain masalah lahan, CD dan kepedulian perusahaan-perusahaan perkebunan ini terhadap desa ring satu yang tipis alias tidak signifikan sumbangannya, kasus lain adalah sengketa perbatasan yang dimamfaatkan perusahaan untuk mengelabui pemerintahan Musi Rawas, lihat kasus PT. MHP di warga trans HTI yang lahannya digusur sebelum diadvokasi FPR diperbatasan antara kab. Musi Rawas dan Kab. Muara Enim. Kasus ini sempat terjadi Bentrok aparat keamanan dengan warga. Awalnya PT. MHP mengunakan pihak keamanan Kab. Muara Enim untuk menangani hal ini. Namun setelah menelan korban puluhan kepolisian Muara Enim terluka, baru mengunakan aparat keamanan kab. Musi Rawas. Menurut pemerhati Hutan dan Lingkar Studi Perkebunan Sawit Kab. Musi Rawas, ada indikasi pajak dan retribusi perusahaan ini juga tidak dibayar di kab. Musi Rawas, begitu juga perusahaan perkebunan sawit PT. Multrada Multi Maju yang berbatasan dengan kab. Lahat juga terindikasi tidak membayar pajak dan retribusi ke kab. Musi Rawas.

Hal terbaru Menurut Dinas Perkebunan kab. Musi Rawas, Jauhari Aswandon, sejumlah perusahaan sawit perkebunan di Kab. Musi Rawas menolak membayar Tunggakan retribusi pangkalan perkebunan sejak 2008 lalu. Hal ini kontradiktif dengan statemen bupati yang mengeluarkan pernyataan keras untuk mencabut izin perusahaan yang membandel, ternyata menurut Jauhari ada 5 perusahaan besar yang mbelelo terhadap kebijakan pemerintahan Kabupaten Musi Rawas, kenapa hal ini terjadi. Apakah pernyataan keras bapak Bupati Musi Rawas yang didukung elemen NGO tidak berarti apa-apa bagi mereka ?. adapun enam perusahaan perkebunan yang tidak membayar retribusi dan diduga menolak membayar retribusi adalah :

1. PT. London Sumatera (Lonsum) Rp. 1.454.207.680
2. PT. Bina Sains Cemerlang Rp. 667.780.920
3. PT. DMIL Rp. 207.361.360
4. PT. PHML Rp. 158.065.192
5. PT. Multrada Multi Maju Rp. (sedang dirinci Disbun)
6. PT. Djuanda Sawit LEstari Rp. (sedang dirinci Disbun)
(Sumber : Disbun Mura dan Media Lokal)

Data yang dilansir dinas perkebunan (Dishub) Kabupaten Musi Rawas, diketahui jumlah tunggakkan tersebut begitu banyak, bahkan PT. Multrada Multi Maju dan PT. Djuanda Sawit Lestari lebih hebat lagi, karena data mengenai hasil produksi dan kegiatan operasional perusahaan ini tidak pernah dilaporkan ke dinas perkebunan Kab. Musi Rawas.

Pemerintahan Kab. Musi Rawas, semestinya berlaku tegas dengan perusahaan tersebut, selain telah mengunakan hutan rakyat, apapun dengan jalur pemilikan HGU atau dengan sembunyi-sembunyi menambah luas lahan mereka dengan mengarap hutan konservasi, perusahaan ini juga telah banyak menjadi polemic dengan masyarakat, mulai dari permasalahan lahan hingga pelanggaran aturan CD yang dilakukan mereka berikut data terbaru konflik masayarakat dengan perusahaan yang beroperasi di Kab. Musi Rawas :

1. PT. LONSUM Dengan Warga Kec. Muara Lakitan dan Rawas Ilir
2. PT. DENDY MARKER Desa Muara Rupit, rawas ulu, bingin rupit ulu
3. PT. MHP Dengan Desa Tri Anggun Makmur (HTI)
4. PT. MULTRADA MULTI MAJU Dengan Desa Gunung Kembang
5. PT. PHML Dengan Desa Pelawe
6. PT. MHP Dengan 7 desa HTI dikec. Muara Lakitan
7. PT. BINA SAINS CEMERLANG Dengan desa Semanggus dan Sungai Pinang
(*Sumber Indok FPR-Front Perlawanan Rakyat)

Menurut Kadis Disbun, Pemkab Mura sering melakukan penagihan tunggakkan distribusi pada tahun 2007 hingga 2008 tersebut, namun gagal. Karena pihak perusahaan berkilah penarikan distribusi tersebut illegal karena Perda sudah dibatalkan oleh SK Menteri yang mencabut Perda Restribusi hasil perkebunan.

“keenam perusahaan tetap eksis disini, tapi tidak ingin membayar retribusi, “Ujar Kepala Disbun. (3/9). Namun kita akan terus berupaya, dan mengharapkan itikad baik perusahaan tersebut dalam membayar retribusi, dan kita akan mengirimkan surat tagihan kepada enam perusahaan ini.” Tambahnya.


Dilain pihak, ketua Ormas FRM (Forum Rakyat Menguggat) Trans HTI, Indra Guna berucap, “Kami minta kepada Bupati Musi Rawas untuk konsisten dengan ucapannya, apa gunanya pemerintahan ini jika pihak kapitalisme perkebunan tidak lagi menghargai kita. Cabut izin mereka sesuai dengan statemen Bupati beberapa bulan lalu, bukan hanya karena jalan rusak atau tidak membayar retribusi. Tapi hutan adat, lahan rakyat dan tanah kelahiran nenek moyang kami diobok-obok mereka. Dulu kec.Muara Lakitan ini terkenal akan kayu dan hutan yang luas, kini telah berubah menjadi hutan AKASIA dan SAWIT, “ Ujarnya bersemangat.

Perlu di inggat, statement Bupati Musi Rawas dibeberapa Media Lukol sering berkata keras, karena tindak-tanduk perusahaan-perusahaan yang sering membandel. Seperti kasus rusaknya jalan simpang semambang cecar, indikasi rusak oleh perusahaan yang beroperasional didaerah tersebut. Namun pihak perusahaan tidak pernah menyumbang perbaikan jalan tersebut.

Edo

2 komentar:

Anonymous said...

Pembangunan itu pasti mempunyai dampak baik positif dan negatif, sebagai NGO kita harus memberitakan berimbang, dan sekarang kita pada posis dimana ?, dari segi perusahaan pajak sudah sedemikian banyak yang di bayar, saya amati banyak juga regulasi dan pajak pajak yang tidak jelas dan tumpang tindih bagai lingkaran setan di pemerintahan kita, untuk menuju perubahan yang lebih baik kita harus mengedepankan fair play, bukan maju tak gentar membela yang bayar ?

Anonymous said...

Salah bila di bilang tidak mendukung pembangunan, perusahaan telah memperkerjakan banyak orang, pajak yang dibayar ( memang untuk pajak kontra prestasi tidak bisa di rasakan orang seperti memungut parkir karena melaui mekanisme APBN ), HGU yang dibayar perusahaan perkebunan itu masuk ke kas PEMDA, harusnya PEMDA dari awal menolak apabila ada perusahaan yang mau membuka lahan kebun, jangan ketika sudah berjalan banyak begini begitu, atau buat slogan stop pemberian HGU sawit ?....sejauh pengamatan saya orang-orang pemerintahan itu meneka begini begitu, kemudian di sogok uang pada diam semua ?...sebagai NGO kita jangan terlampau percaya dengan oknum pemerintah...kita sama sama tahulah mereka itu bisa di cincai, harusnya bayar 100 bisa bayar 50 saja asal 25 untuk mereka jadi perusahaan cuma bayar 75 ,50 masuk kas negara ,25 masuk kas pejabat....he..he..Bukti kan bro ?

Post a Comment

Komentar Pengunjung

ARSIP

PROFILE TOKOH

PUISI & SASTRA

OPINI

  • Kaca Benggala: Sumpah Palapa - Oleh: Agus Jabo Priyono*) Ibarat pepatah, sebagai sebuah bangsa kita sedang berlayar dengan perahu besar, melawan gelombang liar. Dikurung langit yang tla...
    14 years ago