Wednesday, September 9, 2009

Tata cara pelaksanaan sanksi pemotongan dana alokasi umum dan/ atau dana bagi hasil dalam kaitannya dengan pinjaman daerah dari pemerintah pusat

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 41 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Sanksi Pemotongan
Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil Dalam Kaitannya dengan Pinjaman
Daerah dari Pemerintah Pusat; Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4286);


2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);


3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);


4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4438);


5. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 136, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4574);


6. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);


7. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578);


8. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tatacara Pengadaan
Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah Luar Negeri (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4597);


9. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;


10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 45/PMK.02/2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan dan Mekanisme Pemantauan Defisit Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah dan Pinjaman Daerah;


11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 134/PMK.02/2006 tentang Pedoman
Pembayaran Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;



12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 04/PMK.010/2008 tentang Pelaksanaan
dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah;


MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAKSANAANSANKSI PEMOTONGAN DANA ALOKASI UMUM DAN/ATAU DANA BAGI HASIL DALAM KAITANNYA DENGAN PINJAMAN DAERAH DARI PEMERINTAH PUSAT.


BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:


1. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.


2. Daerah Otonom, yang selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.


3. Pemerintah Daerah, yang selanjutnya disingkat Pemda, adalah gubernur,
bupati, atau walikota dan perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.


4. Kepala Daerah adalah Gubernur bagi daerah provinsi atau Bupati bagi daerah
kabupaten atau Walikota bagi daerah kota.


5. Pinjaman Daerah Yang Bersumber Dari Pemerintah, yang selanjutnya disebut
Pinjaman, adalah semua transaksi yang mengakibatkan Pemda menerima
sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari Pemerintah
sehingga Pemda tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali
berdasarkan naskah perjanjian pinjaman antara Pemda dengan Pemerintah.


6.Dana Alokasi Umum, yang selanjutnya disingkat DAU, adalah dana yang
bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.


7. Dana Bagi Hasil, yang selanjutnya disingkat DBH, adalah dana yang bersumber
dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan
kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.


8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APED,
adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan
disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.


9. Tunggakan adalah jumlah kewajiban Pinjaman yang terdiri dari kewajiban
pokok, bunga, denda, dan/atau biaya lainnya, yang belum dibayar oleh Pemda
dan telah melewati tanggal jatuh tempo, sesuai ketentuan naskah perjanjian
Pinjaman.


10. Kapasitas Fiskal adalah gambaran kemampuan keuangan Daerah yang
dicerminkan melalui pendapatan Daerah, tidak termasuk Dana Alokasi Khusus,
Dana Darurat, dan Penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk
membiayai pengeluaran tertentu, dikurangi dengan belanja pegawai, Berta
dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin.


11. Daerah Yang Indeks Kapasitas Fiskalnya Tinggi adalah Daerah yang indeks
Kapasitas Fiskalnya lebih besar dari 1 (satu).


12. Daerah Yang Indeks Kapasitas Fiskalnya Sedang adalah Daerah yang indeks
Kapasitas Fiskalnya 0,5 (nol koma lima) sampai dengan 1 (satu).


13. Daerah Yang Indeks Kapasitas Fiskalnya Rendah adalah Daerah yang indeks
kapasitas fiskahiya lebih kecil dari 0,5 (nol koma lima).


14. Kuasa Pengguna Anggaran Transfer ke Daerah, yang selanjutnya disebut KPA
Transfer ke Daerah, adalah Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas
kuasa dari Menteri Keuangan yang bertanggung jawab atas pengelolaan
anggaran Transfer ke Daerah.


15. Surat Permintaan Membayar, yang selanjutnya disingkat SPM, adalah dokumen
yang diterbitkan oleh Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk
untuk mencairkan alokasi dana yang bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran atau dokumen lain yang dipersamakan.


16. Surat Perintah Pencairan Dana, yang selanjutnya disingkat SP2D, adalah surat
perintah yang diterbitkan oleh Kuasa Bendahara Umum Negara untuk
pelaksanaan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara berdasarkan SPM.

BAB II

LINGKUP PEMOTONGAN DANA ALOKASI UMUM
DAN / ATAU DANA BAGI HASIL

Pasal 2


(1) Terhadap Pemda yang memiliki Tunggakan Pinjaman dapat dikenakan
pemotongan DAU dan/atau DBH.


(2)Pinjaman yang dapat dikenakan pemotongan DAU dan/atau DBH adalah:
a.Pinjaman yang dalam naskah perjanjian Pinjaman telah mencantumkan
ketentuan mengenai sanksi pemotongan DAU dan/ atau DBH; atau
b. Pinjaman yang dalam naskah perubahan perjanjian Pinjaman
mencantumkan ketentuan mengenai sanksi pemotongan DAU dan/atau
DBH.


(3) Pemotongan DAU dan/atau DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diperhitungkan sebagai pembayaran Tunggakan.

BAB III

PERSYARATAN PEMOTONGAN DANA ALOKASI UMUM DAN/ATAU DANA BAGI HASIL

Pasal 3


Dalam hal terjadi Tunggakan atas Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1), pemotongan DAU dan/atau DBH dilakukan setelah terpenuhinya
persyaratan adanya dokumen sebagai berikut:


a. surat pernyataan Pemda bersedia dipotong DAU dan/atau DBH secara
langsung;


b. surat kuasa Pemda kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan selaku
KPA Transfer ke Daerah untuk memotong DAU dan/atau DBH; dan


c. surat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengenai kesediaan


dipotong DAU dan/atau DBH secara langsung.

BAB IV

BESARAN PEMOTONGAN DANA ALOKASI UMUM DAN/ATAU DANA BALI HASIL

Pasal 4


(1) Besaran pemotongan DAU dan/atau DBH dihitung sebesar jumlah Tunggakan.


(2) Besaran pemotongan DAU dan/atau DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
per tahun tidak melebihi besaran maksimum pemotongan DAU dan/ atau DBH
per tahun yang dihitung dengan mempertimbangkan. Kapasitas Fiskal Daerah
bersangkutan.


(3) Besaran maksimum pernotongan DAU dan/atau DBH per tahun sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) untuk Daerah Yang Indeks Kapasitas Fiskalnya Tinggi
adalah sebesar 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah DAU dan DBH yang
dialokasikan untuk Pemda bersangkutan pada tahun anggaran berkenaan.


(4) Besaran maksimum pemotongan DAU dan/atau DBH per tahun sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) untuk Daerah Yang Indeks Kapasitas Fiskalnya Sedang
adalah sebesar 15% (lima belas per seratus) dari jumlah DAU dan DBH yang
dialokasikan untuk Pemda bersangkutan pada tahun anggaran berkenaan.


(5) Besaran maksimum pemotongan DAU dan/atau DBH per tahun sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) untuk Daerah Yang Indeks Kapasitas Fiskalnya Rendah
adalah sebesar 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah DAU dan DBH yang
dialokasikan untuk Pemda bersangkutan pada tahun anggaran berkenaan.
Pasal 5

(1) Dalam hal besaran maksimum pemotongan DAU dan/atau DBH per tahun yang
dihitung berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 lebih
kecil dari jumlah Tunggakan, pernotongan DAU dan/ atau DBH akan dilakukan
secara bertahap untuk beberapa tahun sampai dengan seluruh pembayaran
Tunggakan selesai dibayarkan.


(2) Dalam hal pernotongan DAU dan/atau DBH dilakukan lebih dari satu tahun,
besaran maksimum pernotongan DAU dan/atau DBH per tahun akan dihitung
kembali dengan menggunakan data kapasitas fiskal dan jumlah DAU dan DBH
yang dialokasikan untuk Pemda bersangkutan pada tahun anggaran berkenaan.


BAB V

PROSEDUR PEMOTONGAN DANA ALOKASI UMUM DAN/ ATAU DANA BALI HASIL

Pasal 6


(1) Terhadap Pemda yang memiliki Tunggakan dan memenuhi persyaratan
pemotongan DAU dan/atau DBH sebagaimana diatur dalam Pasal 3, Direktur
Jenderal Perbendaharaan menyampaikan surat permintaan data kepada
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan mengenai batas maksimum
pemotongan DAU dan/atau DBH per tahun dan jenis dana yang dapat dipotong
untuk Pemda bersangkutan.


(2) Berdasarkan surat permintaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan data mengenai batas
maksimum pemotongan DAU dan/atau DBH per tahun dan jenis dana yang
dapat dipotong untuk Pemda bersangkutan.
Pasal 7


(1) Setelah mendapatkan data batas maksimum pemotongan DAU dan/atau DBH
per tahun dan jenis dana yang dapat dipotong untuk Pemda bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), Direktur Jenderal
Perbendaharaan melakukan rekonsiliasi Pinjaman dengan Pemda bersangkutan
yang dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi.


(2) Berita acara rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani
oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan dan Pemda bersangkutan, sekurangkurangnya
memuat hal-hal sebagai berikut:
a. nama Pemda;
b. nomor dan tanggal perjanjian Pinjaman bersangkutan beserta perubahan/
amandemennya;
c. jumlah Tunggakan;
d. besaran pemotongan DAU dan/atau DBH;
e. jenis dana yang dipotong sebagai pembayaran Tunggakan;
f. periode pemotongan DAU dan/atau DBH sebagai pembayaran Tunggakan;
dan
g. rincian peruntukan pembayaran Tunggakan yang dibayar dengan
pemotongan DAU dan/atau DBH;
Pasal 8


(1) Berdasarkan data batas maksimum pemotongan DAU dan/atau DBH per tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan berita acara rekonsiliasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Direktur Jenderal
Perbendaharaan menyampaikan surat permintaan pemotongan DAU dan/atau
DBH sebagai pembayaran Tunggakan kepada Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan dengan tembusan disampaikan kepada Pemda bersangkutan.


(2) Penyampaian surat permintaan pemotongan DAU dan/atau DBH sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilampiri pula dengan dokumen berita acara rekonsiliasi
Pinjaman sebagairnana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).


(3) Surat permintaan pemotongan DAU dan/atau DBH sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:

a. nama Pemda yang dikenakan sanksi;
b. nomor dan tanggal perjanjian Pinjaman bersangkutan beserta perubahan/
amandemennya;

c. jumlah Tunggakan;

d. jenis dana yang dipotong sebagai pembayaran Tunggakan;

e. besaran pemotongan DAU dan/atau DBH;

f. periode pemotongan DAU dan/ atau DBH sebagai pembayaran Tunggakan;
dan

g. rincian peruntukan pembayaran Tunggakan yang dibayar dengan
pemotongan DAU dan/atau DBH.

Pasal 9

(1) Berdasarkan surat permintaan pemotongan DAU dan/atau DBH dari Direktur
Jenderal Perbendaharaan sebagairnana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1),
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan
melakukan pemotongan DAU dan/atau DBH Pemda bersangkutan sebagai
pembayaran Tunggakan.


(2) Pemotongan DAU dan/atau DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mencantumkan besaran pemotongan DAU dan/atau DBH
dalam SPM Transfer ke Daerah.


(3) SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Direktur
Jenderal Perbendaharaan.


(4) Berdasarkan SPM sebagahnana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal
Perbendaharaan menerbitkan SM.


(5) Tata cara penyaluran DAU dan/atau DBH dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.


BAB VI
ADMINISTRASI DAN AKUNTANSI


Pasal 10
Potongan DAU dan/atau DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dibukukan
dalam Rekening Kas Umum Negara.
Pasal 11

(1) Berdasarkan SPM dan SM, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan
melakukan penatausahaan dan akuntansi Transfer ke Daerah.


(2) Berdasarkan SPM dan SM, Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan
penatausahaan dan akuntansi Pinjaman.


(3) Tata cara penatausahaan dan akuntansi Transfer ke Daerah dan Pinjaman
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 12
Tata cara pemotongan DAU dan/atau DBH untuk Tunggakan yang naskah perjanjian
Pinjaman bersangkutan mencantumkan sanksi pemotongan DAU dan/atau DBH
yang ditandatangani sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini,
mertgikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.

BAB VIII
PENUTUP


Pasal 13
Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri
Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 4 September 2008
MENTERI KEUANGAN
SRI MULYANI INDRAWATI

0 komentar:

Post a Comment

Komentar Pengunjung

ARSIP

PROFILE TOKOH

PUISI & SASTRA

OPINI

  • Kaca Benggala: Sumpah Palapa - Oleh: Agus Jabo Priyono*) Ibarat pepatah, sebagai sebuah bangsa kita sedang berlayar dengan perahu besar, melawan gelombang liar. Dikurung langit yang tla...
    14 years ago