
Politiksaman.com,Pejabat dilarang menerima parsel Lebaran. Tapi, bisnis parsel tetap laris-manis. Larangan KPK tak efektif?
TAK ada yang berubah dengan perkiosan dan pelataran di bawah stasiun kereta listrik Cikini, Jakarta Pusat, menjelang Idul Fitri lalu. Pedagang parsel yang selalu memenuhi lantai bawah stasiun itu tetap sibuk melayani pesanan.
Di salah satu kios, tampak seorang perempuan tengah menyusun keranjang parsel yang bentuknya menyerupai burung. Sementara beberapa pekerja lelaki lainnya sedang menyusun makanan dan minuman sebagai isi bingkisan.
Adoy, pekerja di salah satu kios parsel mengaku pendapatan kios tempatnya bekerja tak menurun, kendati ada larangan bagi pejabat untuk menerima bingkisan. Sebagaimana lebaran tahun-tahun silam, parselnya selalu laris manis tanjung kimpul. “Biasa saja,” kata Adoy. Adoy mengatakan, omset dagangan parsel bisa mencapai Rp.10 juta per hari pada saat menjelang lebaran.
Tak berbeda dengan Adoy, Yuyung, pedagang parsel di kios lain di Cikini, juga mengaku tak ada yang berubah dengan pendapatannya pada lebaran ini. Menjelang lebaran, omset penjualan parselnya berkisar antar Rp 2 hingga Rp 5 juta per hari. “Lebaran kurang 20 hari saja udah mulai banyak yang pesan,” tutur Yuyung.
Pengakuan dua pedagang parsel ini seakan berseberangan dengan kekhwatiran banyak pihak lantaran munculnya larangan pejabat menerima parsel. Larangan yang diedarkan Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 2004 itu semula dikhawatirkan akan mengancam bisnis parsel.
Memang pada awal pemberlakuannya, pedagang parsel mengeluhkan larangan penerimaan parsel oleh pejabat. Deputi Bidang Pencegahan KPK, Waluyo, mengatakan seharusnya pedagang parsel tidak mengeluhkan larangan tersebut. Sebab, KPK hanya melarang parsel yang ditujukan ke pejabat. Namun tidak melarang pejabat membeli parsel. “Yang dilarang parsel yang ditujukan untuk pejabat negara. Jadi kami tidak melarang para pejabat negara membeli parsel,” kata Waluyo sebagaimana dikutip dari situs www.kpk.go.id.
Waluyo mencontohkan pemberian parsel dari pengusaha untuk pejabat. Bagi Waluyo, dalam dunia bisnis, pemberian parsel tidak dapat dilihat sebagai pemberian semata. Parsel yang diberikan kepada pejabat hampir pasti ditujukan untuk melancarkan bisnis penguasaha.
“Untuk apa para pengusaha memberikan parsel kepada pejabat negara yang hidupnya sudah relatif cukup? Mengapa para pengusaha tidak memberikan parsel kepada saudara-saudara kita di pemukiman kumuh atau yang sedang tertimpa bencana alam? Jawabannya sangat sederhana, orang-orang itu tidak memiliki jabatan, wewenang, atau kekuasaan,” tegas Waluyo.
Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Dewan Perwakilan Rakyat Lukman Hakim Saefuddin juga setuju jika pejabat tidak menerima parsel. “Karena dia (pejabat) sudah lebih dari cukup,” kata Lukman saat dijumpai di gedung DPR, Selasa sebelum Lebaran.
Kendati demikian, Lukman memaklumi praktek kirim-mengirim bingkisan merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Indonesia. Hanya saja, bagi Lukman pemberian parsel yang tidak wajarlah yang patut dipersoalkan.
Dia mencontohkan, pejabat yang menerima pemberian parsel berupa arloji atau cincin senilai puluhan juta rupiah perlu meminta klarifikasi mengenai ihwal pemberian parsel tersebut. “Saya akan klarifikasi ke pemberi, apa ini maksudnya?” kata Lukman.
Sebagai bagian dari kebudayaan, menurut Lukman, pemberian parsel haruslah berada dalam batas kewajaran. Misalnya, parsel masih wajar jika dalam bentuk makanan dan minuman. “Seperti buah-buahan, penganan, itu masih masuk akal,” kata Lukman.
Kata ukman, kebiasaan memberi parsel bukan hanya berportensi merugikan negara dan melanggar hukum, namun juga bertentangan dengan agama. Menurut ajaran Islam, pemberian seharusnya diberikan oleh masyarakat mampu untuk masyarakat miskin, bukan sebaliknya.
Sekretaris Jenderal Transparansi Internasional Indonesia, Teten Masduki, menilai larangan menerima parsel belum efektif mengantisipasi terjadinya praktek gratifikasi dalam serah terima parsel itu. Apalagi, kata Teten, KPK belum bisa memantau ketat potensi gratifikasi dalam penerimaan parsel oleh pejabat. “Banyak model. Selain parsel, pemberian lewat cara yang lain seperti voucher relatif sulit diawasi masyarakat,” ujar Teten saat dijumpai Selasa pekan lalu di Jakarta.
Teten mendukung larangan pejabatan menerima parsel. Sebab, menurutnya pemberian parsel terhadap pejabat selalu punya kecenderungan “penyuapan.” Parsel seharusnya diberikan bukan dari bawahan ke atasan, namun dari atasan ke bawahan sebagai bentuk kepedulian. “Selama ini parsel diarahkan bukan terhadap orang miskin,” kata Teten.
Sayang memang, larangan KPK bagi pejabatan untuk menerima parsel tidak diiukuti pengawasan yang ketat. Salah satu sebabnya adalah banyaknya jumlah pejabatan yang harus diakui. Lagi pula, menurut peraturan, pejabatat tersebut yang harus aktif melaporkan bingkisan yang mereka terima.
Jadi, larangan menerima parsel akhirnya hanyalah himbauan moral. Dan nyatanya, bisnis parsel tetaap laris manis di hari lebaran. (E2)
Hervin Saputra
VHR Media.com
0 komentar:
Post a Comment